Imajinasi Liar Teater Koma dalam Lakon Asmara Raja Dewa

Minggu, 18 November 2018 - 09:32 WIB
Imajinasi “Liar”...
Imajinasi Liar Teater Koma dalam Lakon Asmara Raja Dewa
A A A
Pentas Mahabarata: Asmara Raja Dewa di Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta pada Kamis (15/11) benar-benar menjadi panggung kreatif Teater Koma.

Produksi ke-154 dari kelompok teater yang berdiri sejak 1977 ini memiliki tata artistik berbeda dan bisa dikatakan lebih spektakuler ketimbang produksi-produksi sebelumnya.

Meski tetap memegang teguh pada pakem panggung teater, namun dalam pementasan Mahabarata: Asmara Raja Dewa ini, sang sutradara Nano Riantiarno mencoba berkompromi dengan menghadirkan kecanggihan teknologi animasi dengan visualisasi modern yang begitu memanjakan mata.

Alhasil, cerita yang berlatar di langit dan angkasa ini mampu ditampilkan secara langsung lewat animasi tiga dimensi di atas panggung. Imajinasi tentang perkasanya pertempuran dewa terealisasi dengan apik layaknya menonton film dengan animasi mumpuni.

Sejatinya, teknik penampilan animasi di atas panggung tersebut sudah dilakukan Teater Koma pada pentas sebelumnya yakni Gemintang. Namun, dalam pementasan kali ini animasi ditampilkan dengan proporsi yang lebih banyak dan dipadu dengan efek suara yang sangat mendukung.

Adegan yang biasanya hanya ada dalam imajinasi pikiran terasa mencuat keluar dan tumpah secara nyata dalam bentuk visual di atas panggung. Muncul menghentak, kemudian membuat hidup seisi panggung dan pecah.

Entakan pertama hadir ketika Antaga (kemudian menjadi Togog) dan Ismaya (kemudian menjadi Semar) bertarung untuk membuktikan siapa yang lebih kuat di antara mereka berdua. Keduanya terbang ke atas langit dan bertempur.

Inovasi yang dihadirkan dalam animasi ini berhasil dijalankan, membuat suasana pertunjukan menjadi lebih hidup dan membuat penonton penasaran mengenai apa lagi yang akan dimunculkan.

Tiba-tiba, layar tipis putih terbentang menutupi panggung, proyektor menembakkan beragam efek, mulai petir, bola dunia, api, asap, dan lainlain. Antaga bertarung dengan Ismaya di belakang semua efek itu, membuat pertarungan menjadi lebih hidup dan sangat dramatis.

Tak sekadar menghadirkan animasi panggung, kecerdasan Rima Ananda-selaku penata busana pementasan-juga sangat luar biasa. Dalam seketika busana dan tampilan karakter para pemain berubah tanpa harus pergi ke belakang panggung layaknya pementasan pada umumnya.

Lagi-lagi, Teater Koma mewujudkan magis di atas panggung, hingga beberapa karakter seperti Ismaya, An taga, Gareng, dan Petruk mampu diceritakan berubah wujud dalam sekejap. Visualisasi dan kostum mutakhir ini tentunya mampu menjadi standar baru pementasan Teater Koma atau mungkin teater lain di Indonesia.

Secara keseluruhan, kolaborasi proyeksi animasi, efek suara, dan tata lampu mampu menunjukkan Teater Koma sebagai teater yang tetap terus berkembang mengikuti perkembangan zaman, meski di sisi lain masih memegang prinsip pakem pertunjukan teater.

Pembuka Lakon-Lakon Mahabarata

Pentas Mahabarata: Asmara Raja Dewa diadaptasi dari karya sastra kuno India yang terdiri atas delapan belas kitab bernama Astadasaparwa. Di bawah asuhan Nano Riantiarno dan sang istri, Ratna Riantiarno, sebagai pimpinan produksi, pementasan kali ini didukung penampilan Idries Pulungan, Budi Ros, Sari Madjid, Alex Fatahillah, Dorias Pribadi, Daisy Lantang, Ratna Ully, Asmin Timbil, Raheli Dharmawan, Toni Tokim, Bayu Dharmawan Saleh, Angga Yasti, Rangga Riantiarno, dan lainnya.

Mahabarata: Asmara Raja Dewa dipentaskan di Graha Bhakti Budaya, Kompleks TIM pada 16 hingga 26 November. Lakon ini mengangkat kisah kehidupan para dewa dan wayang, yang menjadi titik terawal untuk lakon-lakon lainnya dari semesta Mahabarata salah satunya penciptaan Semar dan Togog.

Pentas ini pula menjadi pembuka bagi semesta lakonlakon Mahabarata lainnya. Sutradara Nano Riantiarno menceritakan kisah ini merupakan lakon lama yang masih sangat memikat. Dalam lakon Mahabarata: Asmara Raja Dewa dikisahkan Sang Hyang Wenang menciptakan Tiga Dunia, yakni Mayapada (Dunia Atas), Madyapada (Dunia Gelap), dan Marcapada (Dunia Bawah).

Lalu terjadi perang dahsyat, perebutan kekuasaan antara Idajil dan Hyang Tunggal, pewaris Wenang. Idajil kalah, dibelenggu, dan diasingkan. Hyang Tunggal pun lengser dan digantikan oleh Batara Guru. Kisah tentang Raja Dewa yang menjaga kedamaian Tiga Dunia itu selalu diusik oleh Dunia Gelap.

“Ini lakon para dewa dan lakon penciptaan manusia, genesis. Lakon ini tidak masuk pada pakem dan sumbernya bisa di mana saja. Maka tak heran kalau ada Tanah Batak, Bugis, Bali, bahkan Yunani, Mesopotamia, dan Afrika menjadi sumber bagi pertunjukan ini,” ucap Nano Riantiarno.

Selama ini lakon-lakon yang dimainkan oleh Teater Koma kerap terinspirasi dari cerita pewayangan yang sudah ada seperti wayang di Yogya, Solo, dan Cirebon, yang masing-masing punya pakem tersendiri.

“Kali ini tidak ada ketiga pakem itu. Pakemnya sangat beda dan ini lakon yang jarang dipentaskan. Ini lakon ketika Tuhan awal melahirkan wayang dan Batara Guru itu pertama kali adanya dewa-dewa,” ujar Nano.

Sebelum menulis lakon Mahabarata, Nano juga pernah menulis buku Mahabarata Jawa yang diterbitkan oleh Grasindo pada 2016. Dari situ ia mengolah lagi cerita untuk naskah pertunjukan teater tersebut. “Yang saya tulis untuk pertunjukan ini masih di episode satu yang dibagi dua bagian, sampai Permoni atau Dewi Durga dan Raja Para Dewa kawin.

Nanti di episode berikutnya bisa ada Dewi Sri yang akan muncul dalam cerita,” ucapnya. “Sebetulnya Teater Koma sudah banyak banget memen tas kan kisah pewayangan. Itu sesuatu yang penting banget buat generasi milenial, kita belajar lagi dari cerita penciptaan manusia atau genesis,” imbuhnya lagi.

Seperti pada pentas Teater Koma lainnya yang selalu lantang menyuara kan pesan ataupun kritik sosial dalam pementasannya, dalam lakon ini juga memberikan hal serupa yang tak kalah pentingnya, terutama bagi calon pemimpin bangsa yang akan berlaga dalam kontestasi pemilihan umum tahun depan.

“Ujung dari lakon ini adalah perkawinan kalah dan Permoni dua kekuatan jahat. Perkawinan itu adalah perkawinan yang mudah-mudahan kita terutama calon pemimpin tidak mengambil ujung itu sebagai lakon kita.

Jadi, intinya siapa pun yang memerintah negeri ini enggak menggabungkan dua kekuatan jahat itu, tapi justru kekuatan positif supaya Indonesia lebih baik. Jadi kritik sosial itu yang inspirasi dari Wedhatama. Mudah-mudahan mereka melihat ini sebagai sebuah pembelajaran agar kita ti dak terjebak dengan hal itu,” ungkapnya.
(don)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1273 seconds (0.1#10.140)